Refleksi atas Kapitalisme terhadap Sekolah Menengah Kejuruan



 Hasil gambar untuk SMK
Perilaku seseorang siswa untuk memilih sekolah di jenjang yang lebih tinggi pada prinsipnya sama dengan dengan perilaku seorang konsumen untuk membeli barang. Dimulai dari ketertarikan akan suatu barang yang didukung oleh kemampuan ekonomi, mencari informasi keuntungan dan kelebihan barang  tersebut, sampai akhirnya memutuskan memilih barang tersebut dari berbagai alternatif barang yang ditawarkan.  Hal itu seperti yang terjadi pada siswa SMP ketika memilih masuk SMK, dimana persepsi terkait SMA diprioritaskan untuk melanjutkan ke  jenjang perkuliahan, sedangkan SMK diprioritaskan untuk para siswa yang ingin langsung dapat bekerja setelah lulus. Bagi masyarakat dengan ekomoni menengah kebawah tentunya akan memilih masuk SMK dengan alasan tidak lagi memiliki biaya untuk melanjutkan kejenjang perkulihan.

Keputusan untuk masuk SMK merupakan akibat pengaruh berturut-turut dari pemerintah yang mempromosikan keunggulan SMK di televisi atau media massa. Informasi tentang SMK yang diperoleh dari brosur atau spanduk. Dan guru-guru SMK yang datang ke sekolah-sekolah untuk memberikan informasi terkait SMK.

Kurikulum SMK yang menyesuaikan dengan industri yang tersedia, menjadikan SMK sebagai pencetak tenaga kerja. Dalam promosisinya SMK selalu menggunakan tagline “ SMK BISA” untuk membentuk citra bahwa SMK bisa lebih bagus daripada SMA, bahwa SMK lebih bisa bersaing dalam industri kerja dibandingkan dengan SMA. Selain itu tak jarang juga menampilkan perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan SMK untuk menarik siswa-siswa sekolah menengah pertama memilih masuk ke SMK dibandingkan SMA.

Promosi yang dilakukan oleh SMK juga dimaksudkan untuk mendapatkan jumlah Siswa yang banyak. Dengan adanya jumlah siswa tentuya ada pemasukan yang diterima untuk  peningkatan infrasrtuktur sekolah, peningkatan kesejahteraan para guru-guru SMK. Data Kemendikbud tahun 2016/2017 dari jumlah SMK 13.236, terdapat  3.434 SMK Negeri, dan 9.802 SMK Swasta. Sehingga banyak SMK yang berlomba dalam promosi untuk menarik banyak siswa. Seperti yang kita ketahui bahwa SMK swasta, uang 100% dari siswa dan dikelola oleh Yayasan untuk seluruh kegiatan operasional sekolah itu sendiri.

Banyaknya perusahaan yang membuka lowongan perkerjaan dengan syarat seperti kriteria pada lulusan SMK, tentunya memudahkan siswa untuk mendapatkan informasi terkait pekerjaan pasca lulus dari SMK. Apa yang dicita-citakan oleh para siswa SMK tidak sesuai ekpektasi. Seperti pengalaman dari kawan penulis bahwa para lulusan SMK yang diterima di pabrik menjalani sistem kontrak selama 2 tahun. Dengan masa training selama 3 bulan dan mendapat upah dibawah standar gaji yang tetapkan perusahaan. Mereka dihegemoni oleh perusahaan dengan manawari pekerja tetap apabila  selama 2 tahun bekerjaannya bagus. Setelah 2 tahun bekerja kebanyakan dari mereka tidak di angkat sebegai pekerja tetap, beberapa diantaranya disuruh untuk mendaftar ulang seperti awal dengan kontrak 2 tahun dan training 3 bulan. Ini merupakan cara perusahaan untuk menghemat biaya tenaga kerja, perusahaan tidak perlu khawatir terkait jumlah para pekerja karena setiap tahun selalu ada pelamar kerja yang diciptakan oleh SMK. Seolah SMK hanya menjadi alat untuk menghasilkan buruh-buruh tenaga kerja bagi perusahaan.

Dalam perkembangan SMK tidak lepas dari campur tangan pemerintah untuk mengkonstruk citra SMK. Citra SMK yang dulunya diangkap sekolah pilihan kedua, dan identik dengan kenakalan siswanya. Sekarang stereotype  itu sudah mulai sisihkan, dimana SMK sekarang dipandang sebagai sekolah formal yang mendidik siswanya untuk dapat langsung bekerja pasca lulus dari SMK. Hal tersebut didasari oleh banyaknya pengangguran yang berasal dari lulusan SMA daripada SMK.  Akhirnya dalam  Rencana Pembangunan Jangka Panjang ( RPJP ) Pendidikan Nasional tahun 2005-2025 telah diproyeksikan target pertumbuhan SMK secara bertahap dan berkelanjutan yang mengarah kepada semakin banyaknya jumlah SMK dibandingkan dengan SMA hingga mencapai rasio perbandingan 70:30 pada tahun 2025.

Dampak yang ditimbulkan dari banyaknya siswa yang masuk SMK, jumlah pengangguran terbanyak berdasarkan lulusan pendidikan sejak tahun 1986- 2017 ditempati oleh SMA, sekarang sudah terganti oleh SMK. Dari  133,94 juta orang itu terdiri dari 127,07 juta orang yang merupakan penduduk bekerja, sedangkan 6,87 juta orang dikategorikan sebagai pengangguran. Persentase dari pengangguran tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebesar 8,92%. Sedangkan untuk pendidikan SD ke bawah angkanya 2,67%, lalu sekolah menengah pertama (SMP) 5,18%, Universitas 6,31%, sekolah menengah atas (SMA) 7,19%, dan Diploma I-III sebesar 7,92%. (Mei 2018)

Banyaknya pengangguran berasal dari lulusan SMK akibat dari kurikulum pendidikan SMK yang menyesuaikan Industri yang tersedia, bukan diciptakan menyesuaikan dengan sektor potensial daerah. Ki Hajar Dewantara pernah mengungkapkan bahwa pendidikan itu tidak bisa disama-ratakan, antara pedesaan dan perkotaan, pegunungan dan pesisir. Setiap daerah memiliki potensi masing-masing dan SMK seharusnya menyesuaikan dengan potensi yang ada. seperti contohnya di Daerah pesesir harus diciptakan SMK dengan kurikulum terkait kemaritiman. sehingga apa yang mereka pelajari akan dapat bermanfaat untuk kehidupan disekitar mereka.


x

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keindahan Danau Pulelawang

Leak Bali Lari ke Kendal

Karang Taruna Tunas Bangsa Mengecam Tindakan Amerika Serikat (AS)